Laman

Jumat, 04 Februari 2011

Tekanan Pangan dan Minyak

JANGAN sepelekan harga pangan dan minyak. Bila keduanya naik melambung tinggi, tak terpikulkan oleh rakyat, pemerintahan Yudhoyono bisa limbung dibuatnya.

Tak ada yang baru dengan postulat itu. Sejak tiga tahun lalu, analis memperingatkan perihal meningkatnya harga energi dan pangan serta ancamannya bagi perekonomian kita. Akan tetapi, analisis itu cenderung ditanggapi ad hoc, bahkan dianggap angin lalu.

Salah satu penyebabnya karena harga minyak tidak terus-menerus naik. Bahkan bisa turun rendah membuat pemerintah bernapas lega dan lupa akan ancaman harga minyak.

Harga minyak memang sempat menyentuh US$150 per barel pada 2008, kemudian turun, bahkan pernah mencapai US$30 per barel pada 2009.

Banyak yang menyebutkan penurunan itu hanyalah fenomena sesaat. Sebab, permintaan energi terus bertambah, sedangkan produksi terus turun. Rezim energi murah sudah lewat.

Kini, harga minyak meroket lagi menyentuh US$100 per barel. Bertambah gawat, karena harga pangan pun memperlihatkan kelakuan sama.

Tren lima tahun terakhir menunjukkan harga pangan terus naik. Rezim pangan murah pun sudah lewat. Penyebabnya, laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali, sedangkan laju produksi pangan terus menyusut karena lahan pertanian tergerus dan perubahan iklim.

Dampak paling nyata bagi perekonomian kita terbaca amat gamblang pada inflasi yang meleset dari target. Pada 2010, inflasi ditargetkan 5,3%, nyatanya mencapai 6,3%. Bahkan, ancaman inflasi tinggi bakal menghantui pada 2011. Badan Pusat Statistik menyebutkan inflasi Januari 2011 mencapai 0,89%, lebih tinggi daripada Januari 2010 yang 0,82%.

Kenaikan inflasi itu cukup signifikan (sekitar 0,37%) dipicu kenaikan harga beras dan cabai. Melihat iklim yang tidak menentu dan ancaman gagal panen yang mengintai, amat sulit meyakini bahwa inflasi bisa ditekan menjadi 5%, yang relatif aman untuk perekonomian kita.

Celakanya, pemerintah seperti belum melihat geliat harga minyak dan pangan sebagai ancaman di depan mata. Lihatlah bagaimana pemerintah tetap menggebu-gebu membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tanpa mekanisme yang pasti.

Usulan pakar perminyakan agar pemerintah menaikkan harga BBM secara bertahap tidak digubris karena langkah itu tidak populer dan berpotensi menggerus citra.

Di bidang pangan, langkah yang diambil adalah membebaskan bea masuk impor 57 komoditas terkait dengan pangan. Akibatnya, harga pangan tidak turun secara signifikan, malah petani kita sangat dirugikan karena produknya tidak laku akibat serbuan barang impor.

Begitulah, yang diambil bukan kebijakan jangka panjang yang konsisten, yang meyakinkan. Dalam hal minyak, pemerintah memilih bereksperimen. Kebijakan energi terbarukan hanyalah hangat-hangat tahi ayam.

Soal pangan, pemerintah mengambil kebijakan gampangan dengan mengimpor. Inilah negara agraris yang tidak malu mengimpor.

Sampai kapan pemerintah menganggap enteng pangan dan minyak? Janganlah tunggu sampai rakyat marah karena tak mampu menahan beratnya kehidupan.

 Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar